Sekitar jam 10 pagi
saya bersiap-siap menyebrang di depan pertigaan gerbang Ekonomi Universitas
Jember. Ini adalah salah satu jalur terpadat di Jalan Jawa. Mobil, sepeda
motor, sepeda ontel dan becak tumpah ruah. Di saat menunggu itulah mata saya
menangkap sosok renta yang menyebrang jalan dengan kesusahan. Mata saya
mengikutinya hingga sampailah ia pada ujung jalan. Ia tampak linglung. Badannya
bolak-balik melongkok ke kanan kiri bagai adegan di suatu film drama. Saya pun
turun dari sepeda, mendekatinya lalu menyapanya.
Ternyata ia mencari
tempat pengetikan. Ia hendak mengirimkan surat kepada Bupati Jember. Sebenarnya
saat itu saya ingin buru-buru pulang ke kosan karena belum sempat sarapan. Perut
sudah meraung-raung minta diisi. Namun akhirnya saya lebih memilih mengikuti
intuisi untuk menawarkan bantuan kepada Bapak Tua tersebut. Saya ajak ia ke
sebuah warnet yang ada di dalam gang Jalan Jawa 4 (Itu adalah tempat pengetikan
terdekat dari posisi kami bertemu)
Akhirnya kami
berkenalan, namanya Pak Oloan. Berusia 79 tahun. Lalu saya mengetik sementara
ia membacakan naskah yang sudah ditulisnya. Isi surat tersebut menegaskan bahwa
Ir Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia bukanlah seorang komunis dan
di akhir surat Pak Oloan meminta bantuan dana untuk melanjutkan perjalanan ke
Bali.
Pak Oloan juga
menyertakan 2 buah naskah sebanyak 16 lembar ke dalam map berserta surat
tersebut. Beliau juga memberikan naskah itu kepada saya. Saat itu saya membuka
sekilas saja, isinya tentang Bung Karno : dari riwaya pendidikannya, pergerakan
kemerdekaan, komunisme hingga soal revolusi industri di Inggris dan juga soal
orang batak.
Saya juga agak heran. Apa
yang ia cari di Bali? Akhirnya Pak Oloan bercerita mengenai rencananya untuk
mengajar Bahasa Inggris di Pulau Dewata tersebut (anak-anaknya tidak mengetahui
soal ini).Setahu saya pada usia
sepuh ada orang yang bekerja karena memang tidak suka berdiam diri, ada pula
yang karena “tuntutan dan kewajiban”. Sementara itu banyak juga saya temui orang tua yang santai di rumah menikmati
hari bersama cucu.
Selanjutnya Pak Oloan bilang nanti kalau sudah memiliki uang cukup dari hasil mengajar tersebut, ia berencana menikah lagi.
Selanjutnya Pak Oloan bilang nanti kalau sudah memiliki uang cukup dari hasil mengajar tersebut, ia berencana menikah lagi.
Spontan saya bertanya “Apakah
nyonya sudah meninggal?”
“Saya tidak tahu dimana
dia. Dia dulu menyeleweng”
Ah, ngilu hati saya. Setelah
itu beliau bertanya maukah saya menikah dengannya. Tentu saya begitu kaget mendengarnya. Sungguh tidak menyangka beliau akan menanyakan hal tersebut. Saya sebagai orang yang gampang tertawa akan suatu hal akhirnya ngakak di dalam hati hehehe...
Oya, saya gak tega
memikirkan Pak Oloan melakukan perjalanan jauh ke Bali seorang diri. Saya yang
masih muda begini ketika pulang saja (3 jam perjalanan naik bis) pantat saya
pasti terasa sakit. Pegel.. Apalagi orang berusia lanjut sepertinya.
Pak Oloan berjalan
tertatih. Menyeret-nyeret. Tidak, saya tidak melebih-lebihkan. Memang begitulah
ketika ia berjalan. Ia juga membawa tas besar yang tidak bisa ditutup karena
isinya terlalu banyak. Ditopang di dada, dipegang bawahnya. Saya kira itu
karena ia membawa baju atau semacamnya. Namun saya salah, kertas putih terlihat
mendobrak tasnya.
Ia bercerita bahwa itu
adalah copy-an 2 naskah seperti yang ia berikan kepada saya tadi. Ia menyebarkannya
ke sekolah-sekolah. Jaman sekarang berapa
banyak sih orang yang peduli dan mau meluangkan tenaga uang juga waktu untuk membela tokoh yang
mereka puja?
Hal lain yang membuat
saya mencelos adalah ketika saya bertanya dimana sebenarnya rumahnya. Beliau menjawab
“Saya tidak punya rumah. Yang punya rumah itu anak saya...” lalu matanya
menerawang jauh. Mendadak saya merasakan hawa pilu menjalar...
Saya kuatir, bagaimana
kalau anak-anaknya kebingungan mencarinya. Saya berusaha meminta kontak anak-anaknya
tapi Pak Oloan menolak. Ia hanya menyebutkan anaknya berada di Tanggerang,
Surabaya dan entah dimana lagi
Kami berpisah setelah
saya mengantarnya menaiki angkot kuning menuju PEMDA. Rasanya berat melepasnya.
Saat tiba di kosan, nasi yang saya kunyah tidak berasa. Hambar... Pun juga ayamnya. Saya merasa
gundah. Kepikiran Pak Oloan...
Akhirnya saya googling
ini itu tapi tidak ada berita laporan orang hilang atas nama beliau. Sampai akhirnya
saya buka kembali 2 naskah yang ia berikan. Ternyata tertulis sebuah alamat di
suatu jalan di kota Surabaya. Saya langsung menghubungi teman-teman di Surabaya,
juga teman saya yang orang Batak, menanyakan apakah punya kawan atau kerabat
bermarga “Simorangkir”. Namun hasilnya nihil...
Berikut kutipan tentang
Pak Oloan yang ia tulis di naskah tersebut :
“Penulis
adalah anggota Gereja Masehi Advent hari ketujuh Jalan Tanjung Anom No 5
Surabaya. Beribadah pada hari sabtu, tidak merokok, tidak makan daging babi,
tidak minum kopi atau teh dan minuman beralkohol. Riwayat pendidikan dan
pergerakan kemerdekaan penulis kutip dari buku Pak Pringgodigdo. Selebihnya dari
surat kabar tahun 50-an dan 60-an. Penulis lahir di Taruntung 15 November 1934.
Tahun 1954-1965 bekerja di USIS (United States Information Service-bagian dari
Kedutaan Amerika Serikat) di Jakarta 1954 SMA C malam, lulus ujian negeri 1957
di Jakarta. Guruh Soekarno Putra bulan Juni 2006 datang ke Surabaya dan
mengeluh bahwa Bapak beliau, Bung Karno, dituduh komunis. Keluhan tersebut
dimuat di Jawa Pos. Besoknya penulis tulis naskah ini. Penulis adalah
simpatisan Bung Karno”
Pak Sabat Oloan
Simorangkir...
Dimana pun beliau
sekarang berada, semoga Gusti Allah melindunginya...
Hatiku juga mencelos ketika membaca ini. Tapi ada mesemnya juga, ketika beliau berkata, "Maukah kau menikah denganku?"
ReplyDelete