Ayah ke Bandung lagi hari ini. Mengikuti rapat bersama Manager Pegadaian yang lain. Aku dan Mamak selalu tidak bisa tidur tenang sebelum Ayah pulang. Sampai di rumah dengan selamat. Biasanya Ayah pulang hampir larut malam. Menaiki carry-nya atau bis yang ditunggu di depan Masjid Al-Fallah. Biasanya Ayah pulang membawa sekotak Dunkin Donut di tangan kanannya dan tas besar di tangan kirinya. Biasanya kalau pintu terketuk buru-buru aku berlari membukanya, menyambut Ayah yang datang. Aku cium tangan Ayah setelah kotak donat berpindah ke jemariku. Kugotong pula tas Ayah ke dalam. Aaaah sudah hampir jam 11, sebentar lagi Ayah pasti datang.
(Elfira Arisanti, 13 tahun, 2001. Kala menunggu Ayah pulang)
Ekstasi ini merubah fisikku menjadi tidak bisa diam. Aku tak mengharapkan mendapat banyak. Sedikit cukup untuk merubah lelah tubuh menjadi ringan. Jauh disana 190 KM letaknya dari hatiku bersemayam tubuh kecil yang menjadi semangat hidupku. Penyuntik gairah yang kudambakan jadi belahan hati anak-anak kita nanti. Mungkin nanti akan lelah tubuh ini : menyembur keringat, membakar lemakku dan membengkakkan otot-ototku. Tapi ada satu senyum. Saat menempel di buku-buku jari tanganku yang dekil ini dan bersentuhan dengan hidung merahnya, pun mendengar namaku dipanggil “Ayah”, disitulah aku temukan surga.
(Yudha Pradana, 22 tahun, 9 Desember 2010. Kala membayangkan menjadi Ayah yang pulang)
Panggilan “Ayah” dari anak-anak, ketika si buruh pulang dari pekerjaannya, adalah obat duka dari dampratan majikan di kantor. Suara “Ayah” dari anak-anak yang berdiri di pintu itulah yang menyebabkan telinga menjadi tebal, walaupun gaji kecil. Suara “Ayah” dari anak-anak, itulah urat tunggang dan pucuk bulat bagi peripenghidupan manusia
(Buya Hamka, 1976 . Kala bercerita tentang Ayah yang pulang dalam “Cermin Penghidupan”)
baguuus :D kalau aku buat mungkin judulnya kala menanti ucapan ultah :P ayahku selalu jadi orang pertama di dunia yang ngucapin ultah, bahkan sebelum harinya hhohho #curcol
ReplyDelete