4 November 2012

The Bicycle Thief : Siapa yang tidak pernah ngamuk kepada Tuhan?


Resensi Film Ladri di biciclette (Italia) atau Bicycle Thieves, The Bicycle Thief


Pemain :
Lamberto Maggiorani sebagai Antonio Ricci
Enzo Staiola sebagai Bruno
Lianella Carell sebagai Maria
Gino Saltamerenda sebagai Baiocco


Cerita berawal saat Antonio Ricci mendapatkan pekerjaan sebagai penempel poster film . Pekerjaan tersebut menuntutnya memiliki sepeda, padahal sepedanya sendiri sudah ia gadaikan. Sang istri, Maria akhirnya menjual mas kawinnya : 6 lembar sprei untuk menebus sepeda tersebut.

Malangnya saat hari pertama bekerja sepeda Ricci dicuri komplotan maling sepeda. Ricci melaporkan kejadian ini kepada pihak  kepolisian namun tidak dihiraukan karena Ricci tidak punya saksi mata. Akhirnya Ricci minta tolong kepada Baiocco, yang membawanya ke sebuah pasar loak. Hasilnya nihil. Ricci pun mencoba mencari ke pasar loak yang lain. Saat berteduh dari hantaman hujan bersama Bruno, anaknya, dari kejauhan Ricci melihat pemuda yang mencuri sepedanya sedang bertransaksi dengan Pak Tua. 



Mulai lah terjadi kejar-kejaran. Ricci yang kalah cepat dibanding pemuda itu akhirnya balik mengejar Pak Tua bahkan sampai ke dalam gereja. Namun Pak Tua berhasil kabur. Ricci yang frustasi karena tidak bisa menemukan sepedanya bahkan sampai berkata kepada Bruno : 



Siapa yang tidak pernah ngamuk kepada Tuhan? Siapa yang tidak pernah kecewa kepada-Nya? 

Selanjutnya Ricci mengajak Bruno mendatangi Santona, seorang paranormal yang di awal cerita sempat ia remehkan. Bertemu lagi lah mereka dengan pemuda maling sepedanya.Namun  saat menggeledah rumahnya tidak ditemukan sepeda satu pun. Warga ikut emosi, apalagi saat pemuda itu berpura-pura mendadak sakit.
Ricci pun mengajak Bruno pulang. Dilema moral terjadi saat Ricci melihat sebuah sepeda terparkir di sebuah gang yang sepi. Sampai akhirnya korban pun menjadi pelaku...

= = = =

Film yang rilis pada tahun 1948 ini disutradarai oleh Vittocio de Sicca yang terkenal akan film-film neorealisme-nya. Film-film dengan gaya neorealisme biasanya  terfokus pada permasalahan hidup dari kalangan bawah, diperankan oleh aktor non profesional dan tidak dilakukan dalam studio melainkan pada lokasi asli. 

Dengan setting Italia pasca kekalahan di Perang Dunia II saya begitu menikmati film yang berdurasi satu setengah jam ini. Tema yang diangkat dalam film ini sederhana dan bisa terjadi pada siapa saja. Musiknya bagus, acting pemainnya pun begitu natural (Lamberto Maggiorani aslinya seorang buruh, Enzo Staiola pun ditemukan di lokasi syuting saat menemani ayahnya berjualan)

Kalau mau tau bagaimana Roma di tahun 40-an, langsung saja nonton film ini. Seru rasanya melihat adegan Ricci dan Bruno saat menyusuri kota melewati  bangunan-bangunan, sungai dan kafe, melihat Maria dan ibu-ibu lain heboh antri menimba air, melihat uang kertas Italia jaman dulu yang ternyata segede buku, melihat tukang sapu jalanan yang setelah saya hitung lebih dari 20 orang di satu jalan saja dan Ricci yang antri naik kendaaraan umum dengan antrian seperti saat saya antri wahana di Dufan dan Jatim Park dulu =p Menarik juga saat adegan Pak Tua mengakui bahwa ia beribadah ke gereja karena menginginkan makanannya saja.

Hal lain yang menarik, saya “tertipu” dua kali ; melihat judulnya di awal cerita saya menyangka Ricci akan kehilangan sepedanya saat ia meninggalkannya di depan flat, tapi ternyata keliru. Saat ada anak tenggelam pun saya pikir itu Bruno yang kecewa karena sikap ayahnya, saya sudah membatin “Sukurin lu Ricci.. Kapok! Makanya sama anak jangan kasar, nampar bocah seenak jidat!” dan ternyata salah juga =p de Sicca sukses membuat saya gemes  bin takjub hehe.

Oya, awalnya saya kurang bersimpati kepada Ricci. Ia tidak menawarkan bantuan ketika Maria membawa timba penuh air masing-masing di tangan kanan dan kirinya. Ia baru membantu ketika menyadari Maria tertinggal di belakangnya, tergopoh-gopoh keberatan. Agak sebel juga saat melihat Bruno yang jatuh di jalan karena Ricci tidak menggandengnya untuk berjalan bersama -__-  tapi akhirnya saya tersadar, Ricci terlalu kalut memikirkan sepedanya sampai akhirnya agak melupakan Bruno.

Saya melihat tokoh Bruno sebagai sosok yang mengagungkan ayahnya. Ia bersemangat membersihkan sepeda saat hari pertama Ricci kerja, ia juga setia menemani pencarian sepeda yang penuh liku itu. Walaupun sempat menangis karena ditampar ayahnya, Bruno tetap manut saat diminta menunggu di jembatan.
Adegan terakhir juga menyentuh. Ricci seorang ayah yang ditutut selalu terlihat kuat, saat itu dalam kondisi tertekan ;  bingung bagaimana menghidupi keluarganya, kehilangan sepeda, kehilangan pekerjaannya, juga malu karena ketahuan mencuri sepeda di depan anaknya akhirnya tidak bisa menahan tangisnya lagi dan Bruno spontan langsung menggenggam tangan Ricci, menguatkannya :’) Saya juga melihat itu sebagai salah satu bentuk penerimaan dan penyampaian ia memaafkan kesalahan ayahnya. Bruno kecil bersikap seakan bisa merasakan beban ayahnya yang begitu berat. 

Satu lagi yang menarik, orang terakhir yang geram melihat Ricci mencuri di depan anaknya berteriak “And you can thank God....”. Perlu diketahui sepeda Ricci merknya Fides dengan Frame Number 1 2033, barusan saya mencari di kamus ternyata dalam bahasa latin Fides artinya “trust, faith, confidence, reliance, credence, belief”


Jember, 5 November 2012

Elfira Arisanti

3 comments:

  1. ulasan yang menarik :)

    ReplyDelete
  2. Kalau mendengar nama Italia itu, sepintas yang terlintas di kepala adalah glamour, sepakbola, dan orang-orangnya yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik..

    Tapi saban kali saya nonton film Italia, selalu saya dapatkan image yang buram. Italia adalah salah satu negara Eropa yang termasuk miskin sebetulnya, sisa-sisa keterpurukan akibat rezim Mussolini di Perang Dunia 2 masih terasa sampai sekarang..

    Saya rasa saya harus nonton film ini, Mbak Elfira :)

    ReplyDelete