Resensi Film Ladri
di biciclette (Italia) atau Bicycle Thieves, The Bicycle Thief
Pemain :
Lamberto Maggiorani
sebagai Antonio Ricci
Enzo Staiola
sebagai Bruno
Lianella Carell
sebagai Maria
Gino
Saltamerenda sebagai Baiocco
Cerita berawal
saat Antonio Ricci mendapatkan pekerjaan sebagai penempel poster film .
Pekerjaan tersebut menuntutnya memiliki sepeda, padahal sepedanya sendiri sudah
ia gadaikan. Sang istri, Maria akhirnya menjual mas kawinnya : 6 lembar sprei
untuk menebus sepeda tersebut.
Malangnya saat
hari pertama bekerja sepeda Ricci dicuri komplotan maling sepeda. Ricci
melaporkan kejadian ini kepada pihak
kepolisian namun tidak dihiraukan karena Ricci tidak punya saksi mata.
Akhirnya Ricci minta tolong kepada Baiocco, yang membawanya ke sebuah pasar
loak. Hasilnya nihil. Ricci pun mencoba mencari ke pasar loak yang lain. Saat
berteduh dari hantaman hujan bersama Bruno, anaknya, dari kejauhan Ricci melihat
pemuda yang mencuri sepedanya sedang bertransaksi dengan Pak Tua.
Mulai lah
terjadi kejar-kejaran. Ricci yang kalah cepat dibanding pemuda itu akhirnya
balik mengejar Pak Tua bahkan sampai ke dalam gereja. Namun Pak Tua berhasil
kabur. Ricci yang frustasi karena tidak bisa menemukan sepedanya bahkan sampai
berkata kepada Bruno :
Siapa yang tidak
pernah ngamuk kepada Tuhan? Siapa yang tidak pernah kecewa kepada-Nya?
Selanjutnya
Ricci mengajak Bruno mendatangi Santona, seorang paranormal yang di awal cerita
sempat ia remehkan. Bertemu lagi lah mereka dengan pemuda maling sepedanya.Namun saat menggeledah rumahnya tidak ditemukan
sepeda satu pun. Warga ikut emosi, apalagi saat pemuda itu berpura-pura
mendadak sakit.
Ricci pun
mengajak Bruno pulang. Dilema moral terjadi saat Ricci melihat sebuah sepeda
terparkir di sebuah gang yang sepi. Sampai akhirnya korban pun menjadi
pelaku...
= = = =
Film yang rilis
pada tahun 1948 ini disutradarai oleh Vittocio de Sicca yang terkenal akan
film-film neorealisme-nya. Film-film dengan gaya neorealisme biasanya terfokus pada permasalahan hidup dari
kalangan bawah, diperankan oleh aktor non profesional dan tidak dilakukan dalam
studio melainkan pada lokasi asli.
Dengan setting
Italia pasca kekalahan di Perang Dunia II saya begitu menikmati film yang
berdurasi satu setengah jam ini. Tema yang diangkat dalam film ini sederhana
dan bisa terjadi pada siapa saja. Musiknya bagus, acting pemainnya pun begitu
natural (Lamberto Maggiorani aslinya seorang buruh, Enzo Staiola pun ditemukan
di lokasi syuting saat menemani ayahnya berjualan)
Kalau mau tau
bagaimana Roma di tahun 40-an, langsung saja nonton film ini. Seru rasanya
melihat adegan Ricci dan Bruno saat menyusuri kota melewati bangunan-bangunan, sungai dan kafe, melihat
Maria dan ibu-ibu lain heboh antri menimba air, melihat uang kertas Italia
jaman dulu yang ternyata segede buku, melihat tukang sapu jalanan yang setelah
saya hitung lebih dari 20 orang di satu jalan saja dan Ricci yang antri naik
kendaaraan umum dengan antrian seperti saat saya antri wahana di Dufan dan
Jatim Park dulu =p Menarik juga saat adegan Pak Tua mengakui bahwa ia beribadah
ke gereja karena menginginkan makanannya saja.
Hal lain yang
menarik, saya “tertipu” dua kali ; melihat judulnya di awal cerita saya
menyangka Ricci akan kehilangan sepedanya saat ia meninggalkannya di depan
flat, tapi ternyata keliru. Saat ada anak tenggelam pun saya pikir itu Bruno
yang kecewa karena sikap ayahnya, saya sudah membatin “Sukurin lu Ricci..
Kapok! Makanya sama anak jangan kasar, nampar bocah seenak jidat!” dan ternyata
salah juga =p de Sicca sukses membuat saya gemes bin takjub hehe.
Oya, awalnya saya
kurang bersimpati kepada Ricci. Ia tidak menawarkan bantuan ketika Maria
membawa timba penuh air masing-masing di tangan kanan dan kirinya. Ia baru
membantu ketika menyadari Maria tertinggal di belakangnya, tergopoh-gopoh
keberatan. Agak sebel juga saat melihat Bruno yang jatuh di jalan karena Ricci
tidak menggandengnya untuk berjalan bersama -__- tapi akhirnya saya tersadar, Ricci terlalu
kalut memikirkan sepedanya sampai akhirnya agak melupakan Bruno.
Saya melihat
tokoh Bruno sebagai sosok yang mengagungkan ayahnya. Ia bersemangat
membersihkan sepeda saat hari pertama Ricci kerja, ia juga setia menemani
pencarian sepeda yang penuh liku itu. Walaupun sempat menangis karena ditampar
ayahnya, Bruno tetap manut saat diminta menunggu di jembatan.
Adegan terakhir
juga menyentuh. Ricci seorang ayah yang ditutut selalu terlihat kuat, saat itu dalam
kondisi tertekan ; bingung bagaimana
menghidupi keluarganya, kehilangan sepeda, kehilangan pekerjaannya, juga malu
karena ketahuan mencuri sepeda di depan anaknya akhirnya tidak bisa menahan
tangisnya lagi dan Bruno spontan langsung menggenggam tangan Ricci,
menguatkannya :’) Saya juga melihat itu sebagai salah satu bentuk penerimaan
dan penyampaian ia memaafkan kesalahan ayahnya. Bruno kecil bersikap seakan
bisa merasakan beban ayahnya yang begitu berat.
Satu lagi yang
menarik, orang terakhir yang geram melihat Ricci mencuri di depan anaknya
berteriak “And you can thank God....”. Perlu diketahui sepeda Ricci merknya
Fides dengan Frame Number 1 2033, barusan saya mencari di kamus ternyata dalam
bahasa latin Fides artinya “trust, faith, confidence, reliance, credence,
belief”
Jember, 5
November 2012
Elfira Arisanti
ulasan yang menarik :)
ReplyDeleteKalau mendengar nama Italia itu, sepintas yang terlintas di kepala adalah glamour, sepakbola, dan orang-orangnya yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik..
ReplyDeleteTapi saban kali saya nonton film Italia, selalu saya dapatkan image yang buram. Italia adalah salah satu negara Eropa yang termasuk miskin sebetulnya, sisa-sisa keterpurukan akibat rezim Mussolini di Perang Dunia 2 masih terasa sampai sekarang..
Saya rasa saya harus nonton film ini, Mbak Elfira :)
thanks ulasannya, keren!!!
ReplyDelete